Senin, 03 Januari 2011

Jangan Biarkan Orang Berfoya-foya dari Hasil Pencurian

Kini, usia reformasi genap 9 tahun. Sebuah usia yang seharusnya cukup membangun kembali tatanan kehidupan negara Indonesia sesuai dengan semangat Pancasila dan UUD 1945. Namun di saat yang bersamaan dengan 9 tahun reformasi itu, kasus dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan mencuat. Ironisnya, aliran dana itu justru mengalir ke calon-calon presiden/wakil presiden peserta Pemilu Presiden 2004. Padahal, justru mereka yang menerima dana itulah yang paling diharapkan menjadi penegak perjuangan reformasi.
Dengan terungkapnya aliran dana DKP ini, segera muncul pertanyaan paling mendasar, benarkah pergerakan reformasi selama ini nyaris tidak menyentuh aspek moral.
Menurut John Palinggi, banyak di antara pemimpin Indonesia yang berbicara seperti bermoral, tetapi kelakuannya tidak lebih dari maling. Orang tidak takut kutukan Tuhan. Berikut petikan wawancara dengan Ketua Asosiasi Pengadaan Barang dan Distributor Seluruh Indonesia ini, Senin (28/5)
Bagaimana menurut Anda hasil yang dicapai reformasi hingga 9 tahun saat ini?
Kita bermaksud memperbaiki keadaan negara, melalui mekanisme konstitusi dan peraturan perundang-undangan serta ketentuan-ketentuan. Pada dasarnya, UUD, UU, peraturan yang lainnya itu, saya rasa telah mengandung sebagian besar asas-asas untuk perbaikan negara. Masalah mendasar di negara ini adalah, kita memang kuat sekali memproduksi peraturan, tetapi kita lemah sekali dalam menegakkannya, terutama untuk kepentingan rakyat. Kita mungkin menegakkan hukum, tetapi sebagian besar menegakkan aturan itu dijalankan melalui kepentingan-kepentingan kelompok, pribadi, dan golongan. Sehingga apa yang terjadi, kelompok pribadi dan golongan, serta beberapa orang semakin kaya, tapi negaranya semakin miskin.
Mengapa terjadi seperti itu?

Nah itu berarti tata kelola pemerintahan yang baik itu mesti diperbaiki kembali. Jangan disalahkan aturan atau UU yang ada melainkan manusianya yang tidak setia pada negara. Ini yang muncul di negara ini. Pada periode ini (Kabinet Indonesia Bersatu-red) sejumlah manusia yang dipercaya untuk mengelola negara, supaya ada kesejahteraan rakyat yang muncul melalui efisiensi keuangan negara, ternyata mereka bukannya menjaga negara tetapi justru berusaha merusak negara melalui perilaku mereka dengan sengaja untuk memperkaya diri.
Dana DKP menjadi perdebatan terbaru yang melibatkan para pemimpin bangsa, menjadi salah satu indikator dari gagalnya pembentukan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih?
Dana DKP sudah menjadi wacana yang menggelinding bahkan menjadi bola liar hingga menimbulkan masalah baru di dalam sistem pemerintahan. Setidaknya, saudara Rokhmin Dahuri itu, kalau memang ada bukti-bukti berupa tanda terima yang kongkrit yang ada pada dia, dibuka saja. Sehingga bisa menjadi acuan, sehingga tidak dilempar dalam wacana yang menjadi bola liar dan dapat mengganggu stabilitas negara.
Kalau semua melempar sesuatu tanpa tanda bukti, juga harus diingatkan, karena kepentingan negara jauh lebih penting daripada memuaskan diri sendiri.
Apakah dengan isu dana DKP ini, calon-calon pemimpin yang menerimanya tidak memiliki moralitas yang tinggi?
Bukan cuma persoalan moral. Orang tidak takut kutukan Tuhan. Bayangkan, disumpah sedemikian rupa, atribut sedemikian banyak di badan semua orang yang beragama apa pun. Tapi tidak pernah takut pada kutukan Tuhan terhadap sumpah-sumpah yang diucapkan.
Yang kedua, kita sesungguhnya telah terjatuh di dalam pangkat, harta, benda, dan jabatan. Kita sungguh amat terjatuh mengutamakan itu, tetapi tidak sayang manusia. Kita sebetulnya menjadi bagian-bagian orang terkutuk dan selalu memperoleh kutukan dari Tuhan, karena kita tidak sayang pada manusia. Kita lebih sayang pada uang, pangkat dan jabatan, untuk kepentingan diri kita. Sekalipun kita menciderai sumpah kita, janji kita.
Jadi, kenapa muncul dana DKP, karena tata kelola pemerintahan (good governance) belum berlangsung dengan sesungguhnya. Itu sebatas wacana yang dilontarkan orang asing, tetapi kita sendiri mewacanakan pada sisi lain. Good governance adalah suatu tata kelola pemerintahan yang baik dan good government, menciptakan pemerintah yang baik, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Itu sebatas pada pernyataan-pernyataan, hanya manis didengar. Namun di dalam pelaksanaannya, di depan mata, siang hari bolong, orang mencuri uang negara.
Bukankah itu menandakan rendahnya moralitas para pemimpin?

Jangan hanya mencari moralitas. Penegakan hukum itu harus jalan dengan benar. Selama ini penegakan hukum tidak jelas ke mana arahnya. Ini saya anggap tidak jelas ke mana arahnya, sebab negara semakin lama semakin bangkrut dan terakhir akan terjadi disintegrasi sosial.
Sepertinya, aturan hukum yang konon sudah cukup keras, ditambah dengan kelembagaan negara yang bersifat khusus, sepertinya tidak bisa berbuat banyak?
Itu yang dikatakan Rasulullah Nabi Muhammad SAW, bagaimana pun rencana, kalau tidak ada usswatun hassanah, itu tidak bisa jalan. Keteladanan dan kemampuan menghukum orang, itu mesti ada di suatu negara. Negara tidak bisa membiarkan orang hidup berfoya-foya dari hasil pencurian, terutama aparatur negara.
Dana DKP sebenarnya hanya bagian kecil dari gurita korupsi yang ada di negeri ini?

Dalam pengadaan barang dan jasa milik pemerintah, sangat banyak dana-dana siluman yang mengalir ke pemerintah, itu kan bagian dari korupsi yang sistemik?
Permasalahan dasarnya adalah sistem rekrutmen dan penempatan eselon-eselon pemerintahan maupun BUMN itu, sering dilakukan dengan campur baur kepentingan politik. Apa yang terjadi? Orang-orang yang ditempatkan itu, adalah orang-orang yang telah berutang jasa maka di dalam tugasnya pasti tidak akan melakukan kebaikan bagi negara. Banyak informasi yang menyatakan menyetor ke sana sini, sehingga sangat tidak mungkin lagi melaksanakan tugasnya.
Bapak juga, mungkin mengalami sendiri, misalnya kalau tidak memberi uang sekian persen dari nilai proyek?

Tidak usah terlalu urai sampai ke situ. Yang pasti bahwa pengadaan barang pemerintah di Indonesia, bolehlah saya katakan 56% persen masih berlangsung tidak sesuai dengan peraturan. Hampir semua instansi, hampir 90% tidak melakukan aturan yang diatur dalam Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003. Mereka melakukan sendiri pemilihan atas dasar kroni-kroni, anak, cucu, dan segala macam. Ini masih berlangsung sampai sekarang. Dan itu adalah pemborosan paling besar di negeri ini.
Kalau kita mau mendekati prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang baik dan bersih, hal-hal seperti ini kan harus dihentikan?

Anda (pers-red) sudah teriak di sana dan masyarakat juga sudah teriak, tetapi sistem dan kesadaran untuk berubah ke arah yang lebih baik, tidak ada di negara ini. Yang kedua, tidak ada orang yang diteladani untuk mampu mengawasi ke bawah. Orang yang mengawasi kan orang teladan. Bagaimana kalau semua bermain. DPR dan MPR saja itu, tidak pernah menyelenggarakan tender seperti yang diharapkan (kepres-red). Tender itu diatur-atur. Hampir seluruhnya (intansi-red).
Padahal, mereka yang seharusnya jadi teladan?

Seharusnya mesti teladan. Mana ada jajaran-jajaran pada level-level pemimpin di kantor-kantor atau instansi yang  memberi teladan. Dan kalau ada yang membantah pernyataan ini, saya siap hadapi.
Jadi, bagaimana menurut Anda langkah-langkah yang harus dilakukan untuk memperbaiki semuanya ini?
Semua orang harus sadar bahwa jika dalam satu atau dua tahun ini kita tidak berubah lebih baik, saya mengkhawatirkan negara ini porak-poranda. Sebab tingkat kemarahan rakyat itu sudah cukup tajam karena miskin dan tidak ada pengharapan. Mau sekolah susah dan keluar sekolah juga susah cari kerja. Di samping itu, narkoba merajalela. Keempat, tidak ada lapangan kerja. Kelima, di depan mata rakyat, semua orang jengah melihat seseorang mencuri uang negara, tetapi juga disanjung-sanjung karena memberi sumbangan (dari hasil pencurian). Saya sendiri sebagai orang yang mengabdikan diri pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Saya sering bertanya, masihkah negara saya akan tetap eksis kalau semua ini tidak bisa diatur dengan baik?
Kita sepertinya tidak menyadari, puncak kemarahan masyarakat itu, cepat atau lambat akan datang?

Sekarang ada lagi kecenderungan. UUD dasar harus diubah. Apanya? Bukan UU-nya melainkan manusianya yang tidak berakhlak, tidak bermoral, dan tidak pancasilais. Sudah kita sepakati pancasila, mau ada ideologi lain lagi. Dalam kelakuan juga, kalau bukan kelompok ini, itu tidak boleh. Mana bisa negara dibangun satu orang atau satu kelompok saja. Memulainya saja bersama koq. Itu juga masalah yang serius.
Jadi jangan salahkan UUD. Itu namanya, tidak maksimalnya kineja menteri, UU-nya harus dicek kembali. Ataukah produk dari DPR itu, ada hal yang harus kita pertanyakan. Misalnya, bagaimana investor menguasai tanah hingga 95 tahun. Itu kan sama saja dengan menjual tanah di negeri ini. Kenapa masuk dengan istilah investasi, menguasai tanah hingga ratusan ribu Ha, hingga 95 tahun. Negara bangkrut! Nah itu produk DPR dan MPR. Ada lagi konsep sekarang, kalau orang keberatan, tidak usah bayar pajak. Mereka-mereka yang mengajukan konsep UU ini, masihkah berpikir waras untuk negara atau memang dalam otaknya sudah mau menjual negara?
Saya mau tegaskan, terlalu sedikit orang yang masih memikirkan negara ini, tatapi sudah 20 juta orang yang mau menjual negara ini, melalui kelakuannya dan tingkah lakunya yang cacat etika.
Bagaimana dengan nasionalisme?

Jangan bicara nasionalisme. Nasionalisme itu, akar persoalannya adalah perilaku yang baik dan kesetiaan bagi negara. Jika tidak setia terhadap negara, tidak usahlah bicara nasionalisme, pasti orangnya pembohong.
Menurut Anda, apa yang telah dihasilkan proses reformasi selama 9 tahun ini?

Kita memang mengalami masalah berkaitan dengan kemiskinan yang belum bisa diatasi, korupsi juga masih merajalela. Tetapi banyak yang sudah dicapai juga. Misalnya banyak orang yang sudah dihukum, penegakan hukum pun sudah mulai berjalan. Tetapi barulah ketahuan kalau sekarang tingkat keberanian orang lebih tinggi untuk mencuri uang negara. Persoalan dasarnya adalah presiden tidak bisa mencampuri penegak hukum. Siapa yang harus disalahkan, kalau ada maling di mana-mana.
Jadi, bagimana yang seharusnya?

Mestinya dipertanyakan, penegak hukum di Indonesia ini benar nggak kerjaannya? Ini, sedikit-sedikit presiden. Masyarakat juga harus diajak berbicara secara proporsional. Jadi fungsi mewakili aspirasi itu, tidak dijalankan. Ini semua menumpahkan kepada presiden. Saya tidak membela, tetapi coba berpikir lurus sedikit ya. Fungsi DPR apa sudah jalan? MH (Berita Indonesia 40)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar